Praktek prostitusi di Kota Medan, Sumatera Utara, ternyata didominasi oleh anak-anak di bawah umur. Pria hidung belang pun berani membayar lebih tinggi untuk jasa pelayanan mereka.
Di Medan, pelacur berusia di atas 30 tahun sudah sulit mendapatkan konsumen. Meski banting harga, pelacur-pelacur tua ini tetap sulit bersaing dengan para pelacur ABG yang masih polos dan lugu. Mucikari pun biasanya segera mendepak mereka dan menggantinya dengan yang masih berusia belasan tahun.
Di Medan, pelacur berusia di atas 30 tahun sudah sulit mendapatkan konsumen. Meski banting harga, pelacur-pelacur tua ini tetap sulit bersaing dengan para pelacur ABG yang masih polos dan lugu. Mucikari pun biasanya segera mendepak mereka dan menggantinya dengan yang masih berusia belasan tahun.
Anak-anak di bawah umur yang terjerumus ke dunia prostitusi, pada umumnya dipelihara oleh mucikari. Mereka diberi fasilitas yang cukup memadai. Prostitusi anak-anak ini pun cukup rapi, para pengelola biasanya menempatkan mereka di rumah yang berada di kompleks perumahan elite yang menganut pola hidup acuh tak acuh dengan lingkungan tetangga sekitar.
Banyaknya anak-anak ABG yang terjun ke dunia prostitusi di Medan, selain karena kebutuhan hidup,juga banyak disebabkan prilaku konsumtif. Mereka rela menjual tubuhnya hanya demi mendapatkan barang-barang mewah dan bersenang-senang. Ironisnya, prilaku konsumtif inilah yang lebih dominan dalam praktek prostitusi anak-anak di bawah umur pada saat ini.
Berdasarkan data Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, ada sekitar 2.000 anak di bawah umur yang terjebak dalam praktek prostitusi di Kota Medan. Yang lebih memprihatinkan, sekitar 45 persen di antaranya masih berstatus pelajar SMP dan SLTA.